Translate

Sabtu, 22 April 2017

Tradisi Adat Melayu Pontianak Kalimantan Barat

Pengertian budaya
 
       Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh.budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.Unsur-unsur sosial-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri.”Citra yang memaksa” itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti “individualisme kasar” di Amerika, “keselarasan individu dengan alam” d Jepang dan “kepatuhan kolektif” di Cina.
Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan duniamakna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.

b.2 Unsur-Unsur Budaya

Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen kebudayaan, antara lain sebagai berikut:
Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:
1)      Alat-alat teknologi
2)      ekonomi
3)      Keluarga
4)      Kekuasaan politik
Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:
1)      Norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
2)      Organisasi ekonomi
3)      Alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama)
4)      Organisasi kekuatan (politik)

b.3 Ciri-Ciri Kebudayaan
 
Ciri-ciri kebudayaan tersebut adalah senantiasa berubah, tingkah laku yang dipalajari, pola tingkah laku yang dipelajari, hasil dari tingkahlaku orang yang dipelajari, dibagi oleh anggota masyarakat, dan dialihkanoleh para anggota.
1.     Senantiasa berubah
Kebudayaan itu bersifat dinamis, selalu berubah sesuai dengan perkembangan situasi atau zaman yang membingkainya.
2. Tingkahlaku yang dipelajari
Kebudayaan sangat mempengaruhi pembentukan manusia.Anggota masyarakat terus melakukan proses belajar, misalnya dari orang tua, teman, lingkungan sekolah, lembaga keagamaan, dan sebagainya.
3. Pola tingkah laku yang dipelajari
Bahwa tingkah laku yang dipelajari mempunyai hubungan di antara unsur-unsur pola tersebut.
4. Hasil dari tingkah laku yang dipelajari
Ide dari seseorang merupakan hasil dari apa yang ia pelajari orang atau kelompok yang lain. Ada tiga wujud hasil kebudayaan yang dipalajari, yaitu menyangkut nilai-nilai, gagasan-gagasan, norma dan sebagainya; kompleks tindakan-tindakan berpola; dan pengetahuan untuk menghasilkan benda-benda hasil karya manusia.
5. Dibagi oleh anggota masyarakat
Tingkah laku yang dipelajari itu hasil-hasilnya tidak milik seseorang atau kelompok tertentu. Ia merupakan milik masyarakat secara menyeluruh. Nilai dan sikap itu dipelajari dari masyarakat.
6. Dialihkan para anggota
Tingkah laku yang dipelajari dialihkan atau ditularkan dari satu generasi berikutnya melalui bermacam-macam cara, misalnya melalui tulisan di tembok atau prasasti, dan sebagainya.

b.4 Kebudayaan masyarakat suku melayu di Pontianak

  • · Tradisi Tepung Tawar
Upacara adat Tepung Tawar kini telah menjadi sebuah keharusan, menjadi sebuah trend dijaman moderns ini, tentunya kita melirik kembali tentang keberadaan upacara tradisi Tepung tawar ini yang pada jaman dahulu seperti menjadi sebuah keharusan bagi masyarakat yang melaksanakan sebuah upacara-upacara baik upacara di dalam kehidupan rumah tangga maupun upacara bagi masyarakat pada umumnya. Upacara tradisi Tepung Tawar umumnya bayak dilakukan oleh masyarakat Melayu dan Suku Dayak akan tetapi pada masyarakat Melayu upacara tepung tawar yang dikenal pada umumnya ada empat jenis yakni Tepung Tawar Badan, Tepung Tawar Mayit, Tepung Tawar Peralatan serta Tepung tawar Rumah. Dari empat jenis Tepung Tawar tersebut masing-masing mempunyai perbedaan baik yang menyangkut peralatan maupun bahan-bahan yang dipergunakan. Seperti Tepung Tawar Badan komposisinya terdiri dari, tepung beras, beras kuning, berteh daun juang-juang, daun gandarusa ,daun pacar, serta miyak bau (miyak Bugis). Miyak bau nantinya diolesi pada bagian tubuh tertentu dan bagi kaum wanita cukup dengan syarat tidak perlu menyentuh bagian tubuh (pusar)
Tradisi tepung tawar badan diperuntukan bagi anak kecil yang melaksanakan gunting rambut atau naik ayun (naik tojang), melaksanakan pernikahan, dan yang akan dihitan bagi laki-laki dan peremtuan. Objek yang akan diberikan menurut tata cara yang berlaku, serta dilampas dengan memakai daun juang-juang maupun daun ribu-ribu yang telah di celupkan pada seperangkat peralatan tepung tawar. Adapun bagian-bagian yang dikenakan secara berurutan pada kening, bahu kanan,bahu kiri, tangan kanan, tangan kiri, kaki kanan, serta kaki kiri sementara paduan berteh dihamburkan pada kiri dan kanan tersebut. Ritual tepung tawar tidak bisa dikerjakan sermbarangan karena menggunakan lafaz khusus yang tidak bisa diungkapkan disini, perlu diterima terlebih dahulu pada ahlinya.
Tepung tawar bisa juga dilakukan bagi keluarga yang meninggal setelah tiga hari dimakamkan, umumnya dilakukan sebagai pembersih peralatan yang dipakai mandi mayit, peralatan yang disimpan diluar rumah di tepung tawar yang disebut dengan acara Pesulli (pembersihan peralatan mayit). Peralatan di dalam kehidupan seperti kendaraan sepeda motor, mobil, sampan,umumnya kendaraan ini dipasang pada saat baru dipakai dan ketika mengalami musibah. Tujuannya untuk meminta keselamatan dengan kenyakinan bahwa masih ada kekuatan gaib yang mempengaruhi di dalam kehidupan dan tetap memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Tepung tawar mayit dengan tepung tawar yang lain tidak jauh berbeda hanya minyak bau yang tidak dipakai dan diganti dengan telur ayam yang diletakan pada tong tempat air memandikan mayit. Tujuan dari upacara tepung tawar mayit yang dikenal dengan Pesilli agar ahli keluarga yang ditinggalkan senantiasa sabar menerima cobaan dari Allah. Dapat terhindar dari musibah dengan memohon agar dijauhkan dari segala musibah yang datang dengan mohon keselamatan, tidak hanya manusia dan juga peralatan yang telah dipakai dengan wujud terimakasih telah dipergunakan sebagai peralatan mandi.
Pada pelaksanaan ritual tepung tawar mayit peralatan yang dipakai dilampas dengan daun ribu-ribu serta peralatan yang lainnya. Peralatan yang sudah bersih baru boleh dibawa masuk kedalam rumah yang sebelumnya di simpan diluar rumah. Telur yang disimpan pada tong dibuang segera dan tempat pemandian mayit ditaburi dengan abu dapur sebagai ungkapan bahwa di dalam kehidupan semua pasti mati dan yang telah terjadi menjadi pasrah laksana abu yang kembali ketempat asalnya.
Upacara ritual tepung tawar peralatan sama seperti tepung tawar yang lainnya, hanya tidak menggunakan miyak bau. Biasanya yang ditepung tawar ini adalah kendara yang baru maupun kendaran yang telah mendapat musibah seperti setelah kecelakaan atau kendaraan hilang ditemukan kembali. Kepercayaan masyarakat dengan menepung tawar kendaraan bahwa , kendaraan yang dipergunakan bisa membawa keselamatan dan juga bisa mendatangkan musibah, karena kendaraan tersebut mempergunakan bahan-bahan yang terbuat dari besi, hal ini disebut tua besi, bahwa besi bisa membawa tuah keberuntungan dan juga bisa membawa kerugian. Kepercayaan ini masih melekat dimasyarakt pada umumnya bahwa besi tersebut mengandung kekuatan gaib ( ada penunggunya mahluk halus yang sering mengikuti besi). Sehingga kepercayaan ini tidak terlepas dari memohon agar kekuatan yang ada tersebut dapat menjadi sebuah kekuatan positip dapat mempengaruhi jiwa pemakainya. Dan meminta ijin agar selalu di dalam keselamatan. Jika ini tidak dilakukan dengan tepung tawar sebagian kepercayaan masyarakat akan mempengaruhi jiwa, kendaraan bisa menabrak atau ditabrak dan bahkan bisa hilang dicuri yang biasa diungkapkan dengan kata-kata “Sueh”. Lafaz doa yang disebutkan tidak bisa sembarangan melalui tata cara tertentu.
Upacara Tepung Tawar bagi anak bayi juga dilakukan dengan upacara ritual dengan segala persiapan yang disediakan bagi ahli keluarga yang mempunyai hajatan. Peralatan yang perlu dipersiapkan dan dengan lengkap harus sudah ada jika acara dimulai. Adapun perlengkapan alat-alat tersebut antara lain; Beras yang ditumbuk dicampur dengan daun pandan dan kunyit dibuat tepung.Daun-daun yang diperlukan untuk alat tepung tawar ialah daun kelapa yang dibuat seperti bunga tapak bebek diberi bertangkai disebut pentawar, dengan jumlah dua buah. Kemudian daun-daun yang disusun dengan jumlah lebih kurang dan puluh jenis diikat kemudian dipotong ujung pangkalnya sehingga rata permukaannya disebut tetungkal dengan jumlah tiga buah.Nyiru kecil yang terbuat dari anyaman kulit bamboo atau disebut juga layau digunakan untuk mengipas-ngipas badan disebut tudung bakul. Besi, kayu arus, bekas kayu baker diikat dengan tali disebut mereka pengkeras. Benang diikat yang diputarkan diatas kepala menurut mereka mudah-mudahan keluarga itu dapat diikat hatinya menjadi suatu ikatan yang kuat dan kokoh tak ubahnya seperti benang itu.Tepung yang sudah ditumbuk dan diaduk di dalam tabung bamboo yang berukuran garis tengahnya lebih kurang dua puluh senti meter, dan setingginya delapan belas sentimeter yang terbuat dari bamboo Betung gunanya untuk menyimpan tepung yang sudah diaduk, tabung bambu ini disebut tudung telak. Beras dimasukan ke dalam gantang, sirih,pinang, tembakau,gambir, kapur,uang logam secukupnya disebut pengkeras. Beras yang dicelup dengan kunyit disebut beras kuning atau beras kunyit. Anggota yang melaksanakannya tiga orang untuk tetungkalnya dan dua orang untuk melaksanakan pentawarnya, dengan jumlah lima orang.
Cara melaksanakan tepung tawar ini setelah tepung diaduk, tetungkal dan penawar yang terbuat dari daun-daun dan daun kelapa itu dicelupkan pada tepung kemudian dicapkan pada kening, tangan kiri dan kanan, pusat, kaki kiri dan kanan dengan membaca selawat nabi atau doa untuk memohon keselamatan. Setelah selesai upacara Tepung tawar maka dilanjutkan dengan acara selanjutnya yaitu menggunting rambut bayi. Undangan yang hadir pada kegiatan tersebut adalah family dan tetangga yang terdekat.
Teori Interaksionisme simbolik sebagaimana dikemukakan oleh Veeger (1993:36, dalam Natsir) adalah mengambarkan masyarakat bukanlah dengan memakai konsep-konsep seperti sistem,struktur sosial, posisi status, peranan sosial, pelapisan sosial, struktur institusional, pola budaya, norma-norma dan nilai-nilai sosial, melainkan dengan memakai istilah “aksi”. Seperti peranan upacara adat yang tergambar akan menjadi sebuah daya rekat masyarakat, sehingga upacara tersebut semakin sering dilakukan akan semakin dapat mempererat yang sangat berkaitan satu dengan lainnya, sehingga menjadi sebuah kebutuhan dan adanya saling ketergantungan dan keseimbangan di dalam kehidupan bersama.
Perlunya dilestarikan nilai-nilai ritual upacara adat, karena di dalam upacara tersebut syarat dengan nilai-nilai di dalam kehidupan terutama kearifan local, bahwa manusia tidak terlepas dari kehilapan dan kesalahan, selalu memohon ampun dan petunjuk kepada Allah SWT, dengan terus melaksanakan kewajiban di dalam kehidupan di dunia, saling gotong royong, menghormati yang tua, menghargai lingkungan baik benda-benda yang bergerak maupun benda yang tidak bergerak bahwa barang-barang tersebut mempunyai manfaat bagi kehidupan dan itu adalah bagian dari makluk Allah SWT yang tidak bisa disembarangkan dan juga air dan lingkungan agar selalu dijaga kebersihannya yang digambarkan dengan air tepung tawar yang dimaksudkan agar jagan saling curiga dan berprasangka buruk dengan yang lain dan mempunyai hati yang bersih. Selalu mempererat tali siratul rahmi dengan saudara-saudara yang ada disekitar kita terjaganya rasa solidaritas sesama di dalam kehidupan yang beragam, sehingga tercapai keingin bersama hidup di dalam keteraman terhindar dari mala petaka dan di jauhi bencana demi terwujudnya cita-cita semua manusia di muka bumi ini
  • Tradisi Saprahan (Makan Dalam Kebersamaan)
Kata Saprahan sudah asing terdengar di telinga masyarakat Kalbar, padahal kata ini adalah sebuah jamuan makan yang melibatkan banyak orang yang duduk di dalam satu barisan, saling berhadapan dalam duduk satu kebersamaan. Masa kini tradisi tersebut telah berganti menjadi sebuah trend baru prasmanan, dimana sulit untuk mempertemukan sekelompok orang atau masyarakat dalam satu majelis, saling berbagi rasa tanpa syak swangka, saling berhadapan sembari menikmati hidangan makanan di hadapannya.
Tradisi yang dibuat penuh dengan syarat nilai-nilai di dalam kehidupan masyarakat kini telah bergeser dari acara yang sebenarnya, jika kita lihat pada masa kini yang duduk di dalam satu majelis sudah tidak bisa membedakan dan tidak mengetahui posisi masing-masing menurut struktur social didalam masyarakat hal ini akan semakin sumbang jika yang saling berhadapan adalah bukan dari ahlul bait akan tetapi juga bukan muhrimnya sehingga eksestensi nilai di dalam kebersamaan akan menjadi suasana yang berbeda. Bagi pria dan wanita tentunya ada perbedaan di dalam majelis dan bagi bukan muhrim dapat dilakukan secara bergantian, terkecuali dalam jamuan keluarga, akan tetapi di dalam masyarakat yang datang dari berbagai lapisan harus dipahami, ya tau dirilah! Kita harus berada dimana?. Pemisahan ini bahwa di dalam tradisi Islam dilarang keras untuk duduk bersama yang bukan muhrim.
Kembali pada persoalan pokok bahwa yang disebut dengan Seprahan adalah shap-shap atau baris-baris mereka yang duduk menghadap makanan. Pada makanan ada juga yang dialas dengan kain putih maupun hijau yang membentang panjang juga ada yang ditumpuk pada satu talam. Panjang kain saprahan minimal 2 meter yang ukuran dapat menampung 10 atau 5 orang yang saling berhadapan. Mereka yang berhadapan biasa disebut barisan atau sap yang resminya 3 sap. Sap terdiri menurut strata social dari pada undangan, atau kedudukan mereka dimasyarakat. “Sap pertama biasanya mereka yang memiliki kedudukan penting, ketika pada zaman dahulu adalah diduduki oleh raja dan alim ulama, ditambah pembesar kerajaan. Kini sap tersebut bisa saja duperuntukan bagi pejabat. Sementara pada sap yang kedua di duduki oleh kaum kerabat terdekat, sedangkan pada sap yang ke3 buat masyarakat umum.
Dalam tradisi saprahan ada yang unik yakni tatacara atau tampilan hidangan. Andaikata mangkuk yang digunakan dalam hidangan yang berwarna putih, maka semua tempat diseragamkan dengan warna yang sama. Biasanya tempat tersebut terbuat dari keramik atau alumunium putih dilengkapi dengan kain lap atau serbet. Hidangan ini dibawa oleh kelompok atau grup pembawa saprahan dengan berpakaian seragam, terdiri dari 3 atau 5 petugas juga memakai sarung tangan dan kaus kaki putih.
Berpakaian khas telok belanga berkain corak insang dengan sopan santun yang dijunjung tinggi menerima tamu diperlukan kejelian bagi yang mendapat tugas tersebut.Bagaimana ketika mereka harus pandai memilih siapa tamu yang datang dan harus ditempatkan pada sap yang mana, sesuai dari ketokohan dan strata sosial dari undangan yang datang. Jika sap sudah penuh maka dengan segera disiapkan hidangan dihadapan para undangan” jumlah petugas yang telah ditentukan tidak boleh diganggu oleh orang lain. Mereka harus pandai meletakan serta menata lauk pauk serta hidangan. Letak mesti sejajar seperti kepala ikan yang menghadap ketimur, maka rangkaian barang yang diberikan semuanya diatur sama,”jika ada yang berlawanan arah, maka akan menjadi sumbang hilang kesan kebersamaan, keseragaman, serta kekompakan. Undangan jika melihat hal tersebut sumbang maka dengan segera memberitahu dengan pengantar agar segera dibetulkan posisinya. Namun semestinya yang ditugaskan harus jeli meletakannya.
Sementara ketika undangan makan, sebagian mereka harus hilir mudik memperhatikan lauk-pauk yang ada di depan para undangan. Jika habis harus segera diganti dengan tatacara tertentu. “Jangan pernah sekalipun menganti lauk yang habis dengan membawa makanan dari dapur kepiring di depan undangan, kemudian memindahkan makanan tersebut ke dalam piring yang telah dipakai sebelumnya.
Tradisi makan saprahan ada istilah yang disebut dengan kepala paret. Kepala paret yang ditunjuk adalah yang duduk pada sap yang paling depan atau pada bagian atas. Kepala paret menentukan memulai acara makan maupun menutup acara makan, ketika kepala paret memulai makan barulah diikuti dengan yang lainnya dan begitu juga jika kepala paret mengakhiri maka yang lain juga harus mengikutinya, jika masih dilanjutkan oleh yang lain disebut dengan selak’ atau buaya’. “Implementasinya adanya perasaan senasib, kebersamaan,sopan santun, menghargai yang dituakan atau menghargai pemimpin, karena pemimpin sudah menunjukan tatacara budi bahasa yang baik, penuh dengan kesopan. Adanya saling menghormati memuliakan pemimpin, tamu dan tidak boleh ada yang saling mendahului. Yang pasti semakin sering duduk dan makan di dalam kebersamaan maka semakin kental tali persaudaraan sesamanya.
Pada zaman dahulu posisi kepala paret sudah pasti raja. Namun untuk saat ini bisa saja diduduki oleh para pejabat, atau mereka yang dituakan. Kepala paret memang betul-betul diistimewakan. Mereka dengan hidangan khusus, dalam penyajian dilengkapi dengan mampan berwarna emas, tempat cuci tangan dan lap tangan bersih. Memulai makanan maka ahlul bait (tuan rumah) mempersilakan dengan hormat kepada kepala paret untuk segera memulainya
  • · Suguhan Makanan Tersaji Dalam Tiga Gelombang
Tiga gelombang yang disebut dengan tiga sesi hidangan yang berbeda undangan yang hadir pada suatu majelis. Biasanya ada kesepakatan dari ahli tuan rumah berupa nasi putih, sayur ikan pedas, sambal belacan,ayam,ikan asin,pisang raja atau pisang hijau, bahkan juga ada ditambah dengan makanan khas cencalok (anak udang halus yang diberi sambal), buduk” seperti biasa jika kepala paret sudah selesai makan diikuti dengan yang lain dengan meletakan sendok dengan cara terbalik, akan tetapi umumnya dilakukan dengan mengunakan tangan, tanpa sendok. Untuk acara kedua dimulai lagi seperti semula. Lazim disebut dengan gelombang kedua juga dengan kata-kata menunggu gelombang ke dua berupa hidangan pencuci mulut, kue-kue dengan segelas kopi dalam ukuran cawan kecil disebut dengan kopi mak jande”, kue berupa bingke berendam, belodar, roti kap. Pada acara berikut dengan menunggu gelombang ke tiga hidangan yang dikeluarkan ialah air serbat (air yang terbuat dari ramuan berwarna merah hati). Air serbat (aek penguser) sebagai tanda yang disebut dengan kode” bahwa acara sudah berakhir bagi undangan segera meninggalkan tempat jamuan. Akhir acara kepala paret menunjuk seseorang untuk membaca salawat nabi. Dalam acara makan saprahan tidak bisa dikerjakan sembarangan karena setiap tata cara mengandung kearifan local dan penuh dengan nilai-nilai yang dalam hal ini jika dihayati dan diambil arti atau maksudnya tersebut maka akan bermakna.
Pantangan yang berlaku dalam jamuan makan saprahan ialah jangan berbicara kotor serta keji, jangan berludah, jika ada yang bersin maka dengan segera meninggalkan tempat dan digantikan dengan yang lain. Para undangan dilarang mengambil bagian yang bukan dihadapannya. Secara teoritis adat dalam tradisi saprahan sangat merunut pada teori Maslow yakni menempatkan kebutuhan makan dalam hierarki atau sebuah system. Tidak ada batasan siapa yang berhak mengadakan makan saprahan, karena dalam tradisi saprahan memiliki sifat serta kegunaan tertentu dan kadang tak terlepas dari tujuan adat dari tujuan tersebut bagaimana interaksi masyarakat untuk saling mengakrabkan diri, saling mengenal satu sama lain, rasa kebersamaan tercipta sesama warga.
Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Acara Saprahan :
1. Nilai Kebersamaan
Pada dasarnya upacara saprahan itu sifatnya transparan, diikuti oleh seluruh warga kaum kerabat dan adanya gotong royong sebelum acara dimulai. Pelaksanaan dikoordinir para keluarga besar. Dengan mencerminkan rasa kebersamaan dan kekompakan yang tinggi di mulai dari awal sampai akhir persiapan, pelaksanaan hingga berakhirnya kegiatan.
2. Nilai Ketaatan
Nilai ini tercermin adanya dorongan dalam diri warga masyarakat untuk melaksanakan tradisi yang turun temurun sifatnya,khususnya acara saprahan. Hal ini adanya rasa menghormati pemimpin yang dianggap bisa mewakili kepentingan masyarakatnya atau juga yang dianggap dituakan sangat dihormati, hal ini merupakan manifestasi dari ketaqwaan seorang insan yang diungkapkan di dalam sebuah hadis, taat kepada Allah SWT, taat kepada Rasul, dan taat kepada pemimpin. Adanya rasa keterikatan secara otomatis menciptakan rasa persatuan dan kesatuan sesama umat yang harus dapat dipertahankan agar acara seperti ini menjadi sebuah identitas masyarakatnya.
3. Nilai Religius
Dari pelaksanaan upacara saprahan dapat dilihat bahwa di dalam menghadapi hidangan yang dianugrahkan Allah SWT tidak terlepas dari acara berdoa dan ditutupi dengan membaca salawat kepada nabi, agar di dalam acara tersebut mendapat berkah serta pahala dan selamat dari musibah dan bencana.
Pelaksanaan acara saprahan dapat mengikat persatuan dan kesatuan yang pada akhirnya dapat menumbuhkan identitas diri masyarakat yang bersangkutan, terutama dari nilai kebersamaan, kegotong royongan dan kekompakan yang diwujudkan dalam rangkaian upacara tersebut. Nilai-nilai tersebut dapat diaplikasikan pada generasi muda melalui pendidikan non formal di rumah atau dilingkungan social maupun pendidikan sekolah secara formal. Selanjutnya acara saprahan perlu dilakukan secara berkesinambungan untuk melestarikan salah satu adat budaya bangsa guna memupuk kerjasama antar warga hingga memperkokoh rasa identitas bersama.

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar